KOLOM | EDITORIAL INDONESIA — Ibrahim Datuk Sutan Malaka, yang lebih dikenal sebagai Tan Malaka, pernah mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, dan memperhalus perasaan. Sebagai tokoh revolusioner angkatan pertama, Tan Malaka memberikan banyak pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia, jauh sebelum negara ini merdeka. Ia tidak hanya berbicara, tetapi juga beraksi, bergerilya dari satu negara ke negara lain, termasuk singgah di Bayah, Banten.
Tan Malaka fokus pada perjuangan revolusi dan menolak perundingan dengan para penjarah. Ia menegaskan bahwa tuan rumah tidak seharusnya berunding dengan maling yang menjarah rumahnya, sebuah kritik tajam terhadap pemimpin yang lebih memilih jalan negosiasi. Pemikirannya yang cemerlang diimbangi dengan tindakan nyata, menggelorakan semangat perlawanan terhadap penindasan. Menurutnya, kemerdekaan harus diperjuangkan hingga titik darah penghabisan, bukan sekadar pemberian.
Namun, meskipun rezim berganti, harapan Tan Malaka belum sepenuhnya terwujud, terutama dalam bidang pendidikan dan harga diri bangsa di mata dunia. Hal ini mungkin menjadi salah satu alasan di balik gagasan Revolusi Mental yang diusung oleh Presiden ke-7, Joko Widodo. Ia melihat adanya masalah mendasar yang tidak bisa diselesaikan dengan cara biasa, sehingga diperlukan tindakan revolusioner untuk mengatasi borok yang semakin menjalar.
Revolusi Mental bertujuan untuk mengembalikan jati diri bangsa yang dianggap telah melenceng dari cita-cita awal. Menurut Jokowi, revolusi ini sangat penting untuk mengembalikan karakteristik bangsa yang dulunya santun dan gotong-royong, kini berubah menjadi lebih individualis dan agresif. Melalui Revolusi Mental, diharapkan karakter masyarakat Indonesia dapat diperbaiki dan kembali ke akar nilai-nilai luhur.
Konsep Revolusi Mental ini digaungkan sejak awal masa jabatan Jokowi dan menjadi isu yang bertahan selama 10 tahun. Namun, popularitasnya mulai meredup, terutama saat terjadi ketegangan dengan Megawati dan ketika Prabowo Subianto naik tahta. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dianggap lebih menarik dan menjadi program unggulan, sehingga diskursus Revolusi Mental semakin tenggelam.
Saat ini, masa depan Revolusi Mental sedang diuji. Apakah gagasan ini masih akan terus mengudara atau akan tenggelam oleh program-program lain? Agar tetap relevan, Revolusi Mental perlu dihidupkan kembali, meskipun hanya dalam bentuk acara seremonial. Tantangan ke depan adalah bagaimana mengembalikan semangat dan tujuan Revolusi Mental agar dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat Indonesia. (*)