Laporan UNDP: Perkembangan AI Berpotensi Memperlebar Kesenjangan Pembangunan Global

waktu baca 4 menit
1

Kecerdasan buatan (AI) yang tidak dikelola dengan baik dapat meningkatkan ketimpangan antar negara dengan memperlebar kesenjangan kinerja ekonomi, kemampuan masyarakat, dan sistem tata kelola, menurut laporan baru dari United Nations Development Programme (UNDP).

Laporan berjudul ” The Next Great Divergence : Why AI May Widen Inequality Between Countries” (Divergensi Besar Berikutnya: Mengapa AI Dapat Memperlebar Ketimpangan Antar Negara) menyoroti bahwa negara-negara memasuki era AI dengan tingkat kesiapan yang berbeda. Tanpa kebijakan yang tepat, kesenjangan tersebut dapat meningkat dan menghambat kemajuan pembangunan.

Kawasan Asia dan Pasifik, rumah bagi 55% populasi dunia, berada di pusat transisi AI. Kawasan ini mencakup lebih dari separuh pengguna AI global, didukung oleh pesatnya inovasi, termasuk dominasi Tiongkok dalam 70% paten AI dan berkembangnya lebih dari 3.100 perusahaan AI baru di enam negara. AI diperkirakan dapat meningkatkan pertumbuhan PDB tahunan kawasan sekitar 2 poin persentase dan menambah hampir 1 triliun dolar AS bagi ASEAN dalam dekade mendatang.

“AI berkembang sangat pesat, dan banyak negara masih berada di garis start,” ujar Kanni Wignaraja, Asisten Sekretaris Jenderal PBB dan Direktur Regional UNDP untuk Asia dan Pasifik. “Pengalaman Asia dan Pasifik menunjukkan betapa cepatnya kesenjangan dapat muncul antara negara yang menguasai AI dan negara yang dikendalikan AI.”

Selama hampir setengah abad terakhir, banyak negara berpenghasilan rendah secara bertahap telah menutup kesenjangan dengan negara-negara berpenghasilan tinggi melalui kemajuan teknologi, perdagangan, dan pembangunan. “Era konvergensi” ini membawa peningkatan signifikan dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan pendapatan. Laporan tersebut memeringatkan bahwa tanpa intervensi kebijakan yang inklusif, AI dapat mengikis konvergensi ini.

Kesiapan digital di kawasan ini masih sangat beragam. Negara-negara seperti Singapura, Korea Selatan, dan Tiongkok telah berinvestasi besar dalam infrastruktur dan keterampilan AI, sementara negara lain masih berupaya memperkuat akses dasar dan literasi digital. Perbedaan ini, ditambah dengan keterbatasan infrastruktur, keterampilan, kapasitas komputasi, dan tata kelola, membatasi kemampuan negara untuk memanfaatkan manfaat AI secara optimal dan justru meningkatkan risiko seperti hilangnya pekerjaan, eksklusi data, serta meningkatnya permintaan energi dan air dari sistem AI yang intensif.

“Kemajuan AI harus berjalan seiring dengan penggunaan sumber daya alam yang bertanggung jawab. Ketika sistem AI mendorong meningkatnya kebutuhan akan air dan energi, hal ini mengingatkan kita bahwa kemajuan teknologi tidak boleh mengorbankan kelestarian bumi. Karena itu, fokus negara-negara pada perencanaan terpadu air–energi–pangan menjadi semakin penting. Dengan menyelaraskan pengembangan AI dengan pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan, negara-negara, termasuk Indonesia, dapat membangun masa depan AI yang inovatif sekaligus ramah lingkungan,” ujar Sara Ferrer Olivella, Kepala Perwakilan UNDP Indonesia.

Perempuan dan pemuda menghadapi kerentanan tertentu. Pekerjaan yang dilakukan perempuan hampir dua kali lebih rentan terhadap otomatisasi, dan lapangan kerja generasi muda telah berkurang di bidang-bidang yang didominasi AI, terutama bagi mereka yang berusia 22–25 tahun, sehingga mengancam awal karier mereka. Di Asia Selatan, prosentase perempuan yang memiliki ponsel lebih rendah (hingga 40% lebih rendah) dibandingkan laki-laki. Selain itu, masyarakat perdesaan dan masyarakat adat seringkali tidak tercakup dalam sistem data AI, sehingga meningkatkan risiko bias dalam algoritma AI dan eksklusi dari layanan esensial.

Di tengah tantangan tersebut, AI juga menawarkan peluang signifikan untuk meningkatkan tata kelola publik. Platform Traffy Fondue di Bangkok telah memproses hampir 600.000 laporan warga, sementara layanan Moments of Life di Singapura memangkas waktu pengurusan dokumen secara drastis. Di Beijing, teknologi digital twin dimanfaatkan untuk perencanaan kota dan mitigasi banjir.

Namun hanya sedikit negara yang memiliki regulasi AI yang komprehensif. Pada 2027, lebih dari 40% pelanggaran data terkait AI diproyeksikan berasal dari penyalahgunaan AI generatif, menegaskan perlunya kerangka tata kelola yang lebih kuat.

“Penentu utama di era AI adalah kapabilitas,” ujar Philip Schellekens, Chief Economist UNDP untuk Asia dan Pasifik. “Negara-negara yang berinvestasi untuk keterampilan, kapasitas komputasi, dan sistem tata kelola yang baik akan mendapatkan manfaat, sementara yang lain berisiko tertinggal jauh.”

Laporan ini membahas tentang cara mengubah risiko itu menjadi jalan menuju kemajuan bersama.

Artikel ini juga tayang di vritimes

LAINNYA
Exit mobile version