
KOLOM – “Zikir tak lain adalah deep talk terdalam — saat jiwa berdialog dengan dirinya sendiri, mendengar suara hati di tengah riuhnya suara-suara di kepala.”
Pagi mulai menembus celah-celah kota. Hembusan angin membawa aroma hujan semalam yang masih menempel di trotoar. Sepeda motor melintas, klakson bersahutan, notifikasi ponsel berdenting, dan manusia bergegas seperti sungai yang tak pernah berhenti. Di tengah semua itu, ada ruang yang sunyi, tak terlihat, tak terdengar: hati manusia. Dan di sanalah zikir hadir—seperti cahaya lembut yang menembus kabut, membimbing jiwa untuk hadir sepenuhnya.
Zikir sering tampak sederhana—kata-kata diulang, doa dipanjatkan, suara bergetar di bibir. Tapi jika disentuh dengan kesadaran penuh, ia berubah menjadi tarian: tarian antara manusia dan Keberadaan. Ibn ʿArabi menamakannya tajalli: pancaran Wujud yang menampakkan diri melalui setiap daun yang bergoyang, setiap sinar matahari yang menembus jendela, bahkan setiap detik napas yang kita hirup. Heidegger, di sisi lain, mengingatkan bahwa manusia sering tersesat dalam kebisingan dunia, lupa bagaimana caranya hadir sepenuhnya, menjadi saksi bagi dirinya sendiri.
Saat lidah melafalkan nama Tuhan, bukan sekadar kata yang keluar—itu adalah getaran cahaya yang menembus rongga dada, menembus lembah hati. Dunia tetap bising, tapi dalam ruang hati itu, muncul ketenangan. Suara-suara luar menjadi bayangan yang perlahan memudar, sementara suara terdalam yang lama terselimuti kini muncul dengan jernih: gema Wujud yang menunggu didengar.
Di keheningan itu, manusia menemukan dirinya kembali. Semua kegelisahan dan hiruk-pikuk hilang seperti kabut pagi yang tersapu matahari. Setiap napas, setiap langkah, setiap detik menjadi cahaya. Dunia pun tampak lain: tidak terpisah oleh nama atau jarak, melainkan wajah tunggal yang menampakkan diri melalui setiap benda, setiap hembusan angin, dan setiap sinar yang menembus kota.
Zikir bukan sekadar ritual; ia deep talk yang paling hakiki. Dialog tanpa kata, di mana subjek dan objek melebur, meninggalkan satu kesadaran tunggal: Keberadaan itu sendiri. Di tengah kebisingan kota, di tengah suara-suara yang menjerat pikiran, zikir menuntun kita mendengar suara yang paling sunyi: suara Wujud yang sejak awal selalu berbicara, menunggu hati yang siap menjadi cermin.
Ketika senja menurunkan jingganya ke langit, zikir mengajarkan kita pulang—bukan ke rumah fisik, tetapi ke diri sendiri. Pulang ke ruang yang sunyi, bercahaya, di mana hati menjadi rumah bagi cahaya yang tak pernah padam. Zikir adalah seni hadir, seni menatap dunia sebagai tajalli, seni menjadi saksi bagi keindahan yang selalu menunggu ditemukan—di setiap napas, di setiap langkah, di setiap detik kehidupan. (*)