Uang sering kali dianggap sebagai alat transaksi yang netral, hanya sekadar angka di rekening atau lembaran kertas di dompet. Namun, kenyataannya uang jauh lebih kompleks daripada itu. Bagi banyak orang, uang punya nilai emosional yang kuat. Ia bisa menjadi simbol keamanan, status, bahkan cara untuk meredakan stres. Tak jarang, keputusan finansial yang kita ambil bukanlah murni hasil perhitungan logis, melainkan dipengaruhi emosi yang sedang kita rasakan.
Salah satu contoh yang paling umum adalah fenomena “emotional spending” atau belanja karena dorongan perasaan. Misalnya, setelah melewati hari kerja yang berat, seseorang memilih membeli kopi mahal atau baju baru hanya untuk merasa lebih baik. Sesekali, hal ini mungkin tidak masalah. Namun jika menjadi kebiasaan, pengeluaran bisa cepat menumpuk dan menimbulkan tekanan finansial di kemudian hari.
Secara psikologis, uang bukan hanya soal bertahan hidup, tetapi juga soal identitas, kebebasan, dan penghargaan diri. Ketika seseorang merasa stres, kecewa, atau tidak dihargai, membeli sesuatu bisa menghadirkan rasa kontrol dan kepuasan instan. Aktivitas ini melepaskan hormon dopamin di otak yang menimbulkan rasa senang, sehingga perilaku tersebut cenderung diulang.
Di sisi lain, emosi negatif seperti rasa bersalah atau cemas sering muncul setelahnya. Pernahkah kamu merasa menyesal setelah impulsif membeli sesuatu yang tidak begitu dibutuhkan? Itu wajar. Belanja mungkin meredakan stres sesaat, tapi tidak menyelesaikan akar masalah finansial. Justru, jika berulang, bisa memperburuk kondisi.
Mari kita lihat beberapa situasi yang sering terjadi:
1. Stres kerja jadi belanja online
Setelah lembur dan menghadapi tekanan kantor, scrolling marketplace lalu check out barang-barang kecil terasa menyenangkan. Padahal barang tersebut belum tentu dibutuhkan.
2. Reward diri setelah gajian
Banyak orang berpikir, “Aku sudah bekerja keras, jadi wajar dong kalau beli sesuatu yang mahal.” Sekali-sekali sah, tapi jika setiap bulan jadi ritual, gaji bisa habis hanya dalam hitungan hari.
3. Bosan jadi jajan makanan kekinian
Saat bosan di rumah, pesan makanan online seakan menjadi hiburan. Harganya mungkin tidak terlalu besar, tetapi jika diakumulasi setiap hari, jumlahnya signifikan.
Kasus-kasus ini menunjukkan bagaimana uang tidak lagi sekadar alat transaksi, tetapi bagian dari cara seseorang mengelola emosinya.
Kebiasaan mengaitkan emosi dengan pengeluaran bisa menimbulkan beberapa masalah serius:
1. Keseimbangan keuangan terganggu
Dana yang seharusnya dialokasikan untuk kebutuhan pokok justru habis untuk belanja impulsif.
2. Rasa bersalah berkepanjangan
Setelah rasa senang hilang, muncul penyesalan karena menyadari pengeluaran tidak terkendali.
3. Hutang menumpuk
Sebagian orang bahkan menggunakan kartu kredit atau pinjaman konsumtif untuk memenuhi dorongan emosionalnya.
4. Stres ganda
Alih-alih mengurangi tekanan, belanja emosional justru menambah beban pikiran karena kondisi finansial semakin tertekan.
Mengelola emosi dalam hubungan dengan uang bukan hal mudah, tetapi bisa dilatih. Beberapa langkah praktis antara lain:
1. Kenali pemicu
Sadari kapan kamu paling sering tergoda untuk belanja yaitu saat stres, bosan, atau setelah gajian? Dengan memahami pemicu, kamu bisa lebih siap menghadapinya.
2. Gunakan aturan 24 jam
Setiap kali ingin membeli sesuatu, tunggu 24 jam sebelum memutuskan. Sering kali, keinginan itu hilang dengan sendirinya.
3. Alihkan ke aktivitas lain
Daripada belanja, cobalah olahraga, jalan kaki, atau ngobrol dengan teman. Aktivitas sehat ini juga bisa melepaskan stres.
4. Buat anggaran khusus untuk hiburan
Tidak ada salahnya memberikan ruang untuk self-reward. Namun tetapkan batas yang jelas, misalnya maksimal 5–10% dari pendapatan.
Catat pengeluaran harianMenulis pengeluaran dapat membantu menyadarkan seberapa banyak uang yang sebenarnya keluar karena alasan emosional.
Perubahan pola pikir adalah kunci. Uang seharusnya bekerja untuk kita, bukan sebaliknya. Dengan mengalihkan sebagian pengeluaran emosional ke tabungan atau investasi, kita bisa merasakan kepuasan jangka panjang yang lebih besar.
Misalnya, uang Rp500 ribu yang biasanya habis untuk belanja online bisa dialihkan ke produk keuangan. Dalam jangka waktu beberapa bulan, jumlahnya bisa cukup besar dan memberi rasa aman. Perasaan tenang karena punya dana cadangan sering kali lebih berharga daripada kepuasan singkat dari belanja impulsif.
Meski deposito cocok untuk menahan godaan belanja, bukan berarti semua uang harus ditempatkan di sana. Tabungan tetap menjadi pondasi utama keuangan pribadi. Tabungan bersifat lebih fleksibel karena bisa diakses kapan saja, misalnya untuk kebutuhan darurat atau rencana jangka pendek.
Kombinasi keduanya bisa jadi strategi yang bijak. Gunakan tabungan untuk kebutuhan harian dan dana darurat, sementara deposito untuk tujuan jangka menengah atau melatih konsistensi finansial. Dengan begitu, kamu tidak hanya mengendalikan belanja emosional, tetapi juga membangun pola keuangan yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Salah satu rekomendasi tabungan bank yang bisa kamu gunakan sebagai pondasi keuangan adalah Tabungan NOW di neobank dari Bank Neo Commerce. Tabungan NOW dirancang khusus buat kamu yang ingin menabung sekaligus melihat saldonya terus bertambah. Dengan bunga kompetitif yang cair harian, tabungan ini bisa jadi pilihan untuk menyimpan gaji, dana darurat, atau tabungan dengan tujuan jangka pendek.
Dengan menabung di salah satu rekomendasi tabungan bank terbaik sesuai kebutuhan, uang tetap aman, tetap likuid, dan sekaligus bisa berkembang setiap hari.
Download neobank di PlayStore atau App Store dan buka rekening bank Tabungan NOW sekarang.
Cek info lebih lanjut dan terbaru di link Tabungan NOW.
***
PT Bank Neo Commerce Tbk berizin dan diawasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) & Bank Indonesia (BI), serta merupakan bank peserta penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Artikel ini juga tayang di vritimes