JAKARTA | EDITORIAL INDONESIA — Anggota DPD RI Hasan Basri mempertanyakan alasan pemecatan dokter Terawan Agus Putranto dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
“Kenapa dia harus diberi sanksi bahkan dipecat seperti itu?,” ujar Hasan Basri, dikutip Rabu 29 Maret 2022.
Senator asal Kalimantan Utara itu menilai justru pemberhentian dokter Terawan dari keanggotaan IDI berbahaya bagi masa depan kedokteran di Indonesia.
“Kenapa berbahaya? Adanya rekomendasi MKEK ini, kami khawatir akan menjadi yurisprudensi di masa yang akan datang. Sehingga menyebabkan dokter-dokter kita takut untuk mencoba dan berinovasi dengan berbagai riset-risetnya,” kata Hasan.
Hasan Basri menilai, idealnya, sebagai organisasi profesi yang diberikan kewenangan cukup luas oleh UU Praktik Kedokteran, IDI bisa lebih mengayomi dan membina para anggotanya.
Dia juga menilai Dokter Terawan tidak melakukan kesalahan yang fatal maupun kesalahan yang merugikan orang banyak. Menurutnya terkait dengan kampanye vaksin Nusantara, kampanye yang dilakukan oleh Terawan justru patut diacungi jempol.
“Ketika negara mengimpor vaksin dari luar negeri, Terawan justru yakin bahwa bangsa Indonesia dapat membuat vaksin sendiri,” tegasnya.
“Dia punya keyakinan bahwa suatu saat kita pasti bisa membuat vaksin, apalagi semakin ke sini, pernyataan Pak Jokowi semakin jelas bahwa kita harus mencintai produk dalam negeri,” lanjutnya.
Dijelaskan oleh Hasan Basri, terkadang dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, setiap profesi, termasuk dokter selalu dihadapkan pada suatu keadaan dilematis. Contohnya kasus kehamilan yang sudah waktunya melahirkan, tapi karena suatu sebab, medis, termasuk seorang dokter harus memilih atas persetujuan suaminya; keselamatan ibu atau anak.
“Kematian nyawa seorang manusia adalah hak hidup yang diperoleh dan diberikan Tuhan Yang Maha Esa. Inti hakikat hukum mulai bekerja harus ada suatu perbuatan dan akibat serta tujuan yang dibenarkan,” ujar Alumni Magister Hukum Universitas Borneo.
Menurutnya, kasus Terawan sesungguhnya terletak pada persetujuan dari subjek dalam perawatannya. Kesediaan subjek lebih penting dari masalah prosedur teknis medis yang disyaratkan Konsil Kedokteran.
Alasannya, aspek kepentingan kesehatan pasien lebih bermanfaat daripada kewajiban Terawan mematuhi prosedur uji klinis.
“Apalagi sampai saat ini belum ada satu pun korban praktik Terawan yang melapor ke MKEK. Bahkan sebaliknya pujian atas teratasi penderitaan pasien bertubi-tubi disampaikan kepada publik,” katanya.
Dalam konteks kasus Terawan, kata dia, perlu diketahui bahwa hukum bertugas melindungi kepentingan kesehatan pasien daripada melindungi proses teknis medis yang diatur di UU.
“Asas kemanfaatan dan keadilan saat ini dipandang lebih manusiawi dan wajib diutamakan daripada asas kepastian semata-mata,” tegasnya.
Anggota Komite III DPD RI ini meminta kepada Kementerian Kesehatan untuk mengkaji rekomendasi yang dikeluarkan oleh MKEK IDI tersebut, terutama dari aspek hukum dan peraturan perundang-undangan.
“Saya tegaskan bahwa ini bukan hanya soal Pak Terawan ya. Tetapi ini tentang masa depan dunia kedokteran, masa depan dunia farmasi kita agar lebih mandiri dan berdikari. Jangan sampai sebuah inovasi atau prestasi yang harusnya diapresiasi, ini malah diganjar dengan sanksi,” tegasnya.
Sebagai bentuk pengawasan atas berbagai organisasi di tanah air, Komite III DPD RI akan memanggil IDI untuk meminta penjelasan dari pemecatan kasus tersebut.
“Saya pikir evaluasi dan penyesuaian dari sebuah UU adalah hal yang biasa, agar UU terkait lebih relevan dengan situasi, kondisi dan kebutuhan dari masyarakat saat ini,” katanya.
“Sehingga IDI dan juga organisasi profesi kedokteran lainnya itu tidak terkesan super body dan super power,” pungkasnya. (Red)